Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Puisi

SALAWAT SUNYI

SALAWAT SUNYI  Dalam Kekasih,  namamu masih membenamkan mataku dalam telaga  rindu. Bergetar di gericik darahku. Dan rasanya  tak ada udara tanpa abjadmu. Tak kulihat gelap  atau terang. Kata-katamu sungguh wangi  meski tak benar kudengar. Tak ada sejuk  atau gerah. Hanya penuh dirimu yang tak terlukiskan.  Namun hanya itu. Tak bisa kau mewujud dalam pribadiku.  Apa masih ada guna rindu tanpa ketemu? Tak bisa memetik puncak di keramaian pasar. Tak bisa gerakkan kaki seperti jalanmu. Tak bisa berkata seperti yang ucapanmu. Tak bisa tersenyum seperti senyummu. Tak bisa cinta seperti cintamu.

2 ROKAAT AM

2 ROKAAT AM  Deru menderu. Kereta suara berdzikir. Hu hu. Menderas seperti hujan. Berlari dalam lorong panjang tak ada akhir. Mengejar cahaya hampa cahaya. Sangat hiruk dalam hening. Melengking tapi sangat senyap. Kata-kata berlipat berserakan di bawah bandul waktu. Apa yang bisa terucap dalam negeri asing ini. Dan terus asing juga. Keasingan yang seolah abadi.

HAID

HAID Doa yang kurangkai kemarin Apa kau campakkan hari ini Apa karena aku berdarah Kata-kata putih jadi ternoda? Sujud yang kusiapkan paling indah Apa sia-sia karena tamu merah telah datang Apa ada kesalahan penciptaan Hingga hari ini wajahku kau singkiri. Lapar untukmu apa juga terlantar Sementara rinduku untukmu tak bisa kutahan Apa dengan jeda ini untuk siksa Cinta lebih dalam? Kalau Kau tak mau melihatku Bolehkah kubunuh suamiku untukmu Agar darah ini sama setimbang Kotornya?

GUA LAWA

GUA LAWA  Meski tahu jejak-jejak ini sampai padamu,  kau biarkan aku lupa masa lalu.  Kauberi arah, tapi juga gelap, licin, dan mendaki.  Basah dan gericik air  antara diam dan mengalir.  Memusar menyusun semesta purba.  Berbakti, mengabdi, atau durhaka  mengejawantah  mencoreng wajah ngungun dan gelap. Pada puncak kepekatanmu, kau berikan satu lubang, tempat aku mengambil langit di sebuah rahasia.

PERTEMUAN WIJI THUKUL

PERTEMUAN WIJI THUKUL Air mata tiba-tiba memburam menatapmu.  Sembunyi dalam kata-kata hitam.  Dan kata-kataku jadi sunyi di bibirmu.  –Ah, enyahlah darah di peraduan.  Bisikku sendiri. Maghrib tak puas-puas mendarahi matahari. Luka menuang malam dengan warna-warni nestapa Bahkan gemerlapan penuh tusukan. Alangkah indah derita. Teriak kentutmu. Tak usah tunduk, katamu tak jelas berkelanalah padaku. Kakiku perlu kawan melangkah. Bukan karena lapar Hidup perlu bergerak Melawan. Kata-kata memburu masa. Berontak dari sepinya sendiri. Mulut mengecap darah. (Kenyataan menuding-nuding mulut kita.) Hidup membakar darahmu. Matimu sembunyikan kuburnya sendiri.

SEMARANG MALAM

SEMARANG MALAM Di kaca, jendela melahapi pepohonan gelap sepanjang jalan. Apakah gerimis menangisinya?  Bangunan tampil darurat selamanya. Sungai-sungai tua berkilat membantu perempuan-perempuan mencuci baju dengan air kotor.  Mungkin sejak ratusan tahun lalu sudah lelah berperang menghadapi matahari. Membuka tubuh untuk digilas roda-roda tak henti. Kau hanya daun kering, katamu. Akulah tanah  penuh api. Malam ini kau hanya jalan aspal tak rata dirambati lampu-lampu gila. Aku jadi ingat pedang yang siap menebas leherku. Meracau kata abadi yang memuakkan. Sementara nama-nama yang kau janjikan hanya menggumpal di comberan macet. Persis kampanye pejabat palsu. Lalu siapa bisa menolong? Siapa habis menggarong!

MENCINTA

MENCINTA 1 Aku mencintaimu Tapi aku sakit saat kau pergi Mungkin aku belum mencintai. Aku benci Tapi aku sakit saat kau pergi Mungkin aku belum membenci. 2 Aku rindu Tapi aku tak malu mengatakan Mungkin aku belum milikmu. Aku pergi Tapi kau kubawa di hati Mungkin kau adalah tujuku.

JANTUNG

JANTUNG  Di sofa merah, di ruang tamu, kau bawakan aku pisau kecil. Berkilat cantik dan berbibir neraka. Engkau tak berkedip menusuk gamang di dadaku. Pejamkan matamu, pejamkan matamu, bisikmu. Lalu kau betot jantungku. Lalu kau biarkan melumat di wajahmu. Lalu, seperti kuduga, kau tinggalkan aku tanpa dada berdetak. Tanpa hangat air mata.  Konon, wajahmu yang biasa saja itu,menghidup oleh jantun gku. Berkelana pada malam-malam berlampu merkuri dan serangga-serangga gelisah. Jantungmu sendiri menyesap doa dengan ayat rahasia dan terkutuk. Berpalinglah, berpalinglah. Rumahku pasti kau temukan. Secawan hati mendingin di meja kaca. Menatap jendela yang selalu terbuka. --Doa apa, doa apa. Parfum yang pernah merabu di lehermu, sekarang hanya berlayar di cakrawala hitam. Memburu jidatku yang tak berdaya. Berkatalah, berkatalah. Puisi akan hidup dengan nafasmu. Meski hidup juga tak pernah cukup sediakan tawa. Berdoalah, agar kenangan mampu menusuk dada dengan kerja. Kerja yang mampu mengubur

BADAI GUNUNG

BADAI GUNUNG  Bisik-bisik gaib mejamkan jam tanpa angka. --Hoi, siapa di seberang menabur kabut gelap. Apa sepimu bangkitkan iseng yang akut? Gelisah tak habis menziarahi malam meski matahari menggantung di ujung zenit.  Nama-nama itu saja yang kuterima depan pintu. Merecoki khusukku pada zat yang juga tak kupahami. --Tak hanya terbaca. Mereka merayapi sekujur tubuh dan menusukkan bisanya dalam -dalam di gumpalan-gumpalan darahku yang berdetak. Sebegitu jauh, mungkinkah neraka sama saja. Rasa mengambang. Tak paham panas atau dingin. Badai ini membiakkan badai juga di kepala. Kabut ini menebalkan kabut juga di dada yang senja. Seribu abjad memanah tubuhku bersamaan. Tak bisa meneteskan makna. Meskipun, tak berarti kehilangan arti.

GERHANA

GERHANA Sejak gerhana bulan lalu, kau bersepeda memutari dunia mencari jejak cahaya yang tercecer dari pembunuhan. Mungkin senyap menjadi kayuhmu. Dan jalan-jalan tetap gelap. Ah, engkaukah itu yang melambaikan topi penuh keringat penuh abjad. Apa tak cukup sepenggal puisi yang kau hirup setiap senja di teras hutan jati? Lalu bulan tak kenal lelah mengejekmu. Merangkuli mimpi-mimpi yang telah kau  usir dari kamar. Dan nafas gemetar meraba tanganmu yang tak jua menutup pasak-pasak purba. "Mama, jangan kau tinggalkan aku!" Sejak gerhana tahun lalu, tak kau sisakan sapa untuk siapa. Wajahmu telah dimakan raksasa nasib. Menyeringai untuk suatu bukan inginmu. –Hei, bakar saja nyawa agar bercahaya. Tak tampak siang atau malam jika kau simpan jam dalam luka. Pengkhianatanmu sepertinya kebenaranmu. Bunga-bunga yang kita rangkai dengan tawa rasanya tak pernah ada. “Berpalinglah, berpalinglah. Tak tersisa maaf untukmu.”

AIR PUTIH

AIR PUTIH Dengan pagi bening, Kau masuki rumahku demi rumahku dalam rumah-Mu sendiri. Mengucap salam dan shalawat dan kuterima sebagai puisi. Atau bahagia. (Menghirup sperma semesta, bergumul dalam yang pertama --Wahai dunia, menepilah. Tunduklah pada Jiwa Dalam bayang segala, tak sampai badan segenggam.) Dengan dingin dzikir, Kau sentuhkan tubuh-Mu dalam tubuhku --dalam tubuh-Mu sendiri. Mengucap nama-Mu dan namaku Namun yang mengalir hanya Kau. Hanya Aku. (Menghanyut dalam arus azali, melarut dalam Cinta --Wahai surga, minggirlah. Sujudlah pada jalan utama. Dalam bayang wajah-Nya, kau bukan apa-apa.)

TAHAJUD

TAHAJUD Berhenti pada sunyi.  Menebang batang diri.  Senyummu melintas  serupa kabut rahasia.  Nestapa hilang jejaknya.  Udara jadi namamu.  Kuhirup hanya  bahagia semata.

BULAN BULAT DAN MALAM TERANG

BULAN BULAT DAN MALAM TERANG Bulan bulat menyapu langit hingga berkilat Meski wajahnya masih menyimpan noda Tak kotor sajak bercahaya. Secangkir kopi membulat asam pada malam Meski hitam aku melihatnya sangat terang Tak duka mencicip cinta. Sebentang langit menyimpan kopi di kepala Meski tidak ada tujuan apa Tak sia semua ada.

SUP AYAM

SUP AYAM Sudah lama kau tak bercermin pada malam --atau sebenarnya hanya berapa detik lalu kau tak bisa lari dari padang mataku dan teriakmu, sungguh telah habis di ujung senja.  (Sakitku jadi nikmatmu --Mungkin harus begitu.  Kekejaman tak pernah lekang. Rakusmu adalah hidupku. Kebuasan dendam telah sampai pada nafasmu.) Wacana menyusun kerajaannya sendiri Tumbuhkan partai-partai dengan curiga Kawan hanya pelengkap kebutuhan Sembunyikan sunyi dari angkuhmu.