SEMARANG MALAM
Di kaca, jendela melahapi pepohonan gelap sepanjang jalan. Apakah gerimis menangisinya?
Bangunan tampil darurat selamanya. Sungai-sungai tua berkilat membantu perempuan-perempuan mencuci baju dengan air kotor.
Mungkin sejak ratusan tahun lalu sudah lelah berperang menghadapi matahari. Membuka tubuh untuk digilas roda-roda tak henti. Kau hanya daun kering, katamu. Akulah tanah penuh api.
Malam ini kau hanya jalan aspal tak rata dirambati lampu-lampu gila. Aku jadi ingat pedang yang siap menebas leherku. Meracau kata abadi yang memuakkan. Sementara nama-nama yang kau janjikan hanya menggumpal di comberan macet. Persis kampanye pejabat palsu. Lalu siapa bisa menolong? Siapa habis menggarong!
Di kaca, jendela melahapi pepohonan gelap sepanjang jalan. Apakah gerimis menangisinya?
Bangunan tampil darurat selamanya. Sungai-sungai tua berkilat membantu perempuan-perempuan mencuci baju dengan air kotor.
Mungkin sejak ratusan tahun lalu sudah lelah berperang menghadapi matahari. Membuka tubuh untuk digilas roda-roda tak henti. Kau hanya daun kering, katamu. Akulah tanah penuh api.
Malam ini kau hanya jalan aspal tak rata dirambati lampu-lampu gila. Aku jadi ingat pedang yang siap menebas leherku. Meracau kata abadi yang memuakkan. Sementara nama-nama yang kau janjikan hanya menggumpal di comberan macet. Persis kampanye pejabat palsu. Lalu siapa bisa menolong? Siapa habis menggarong!
Komentar
Posting Komentar